Raja Abdullah
Penguasa Arab Saudi semakin terangan-terangan memerlihatkan kebencian sekaligus ketakutannya terhadap pengaruh Iran yang diakui memang semakin besar dan kuat di Timur Tengah. Analis senior, Finian Cunningham, menyatakan bahwa kebencian rezim kerajaan yang dibentuk pada 1920-an oleh tripartit kolonial Inggris, klan al-Saud, dan pembesar agama Wahhabi itu terhadap Iran semakin kencang menyusul keberhasilan Revolusi Islam pada 1979, yang “mengancam seluruh penguasa otokratik di kawasan,” seraya menambahkan bahwa Riyadh memandang “Iran yang nyata-nyata mendapatkan mandat secara demokatis sebagai ancaman mematikan bagi despotisme mereka.”
Sejak revolusi bergulir sampai sekarang, Repubik Islam Iran telah membuat publik internasional terpukau. Selain mampu berdikari dan benar-benar demkratis, negeri "berjuta ulama" itu berhasil mengukir pelbagai prestasi menganggumkan berkelas dunia dalam bidang medis, sains, budaya, politik, ekonomi, kemiliteran, jaringan, dan sebagainya. Padahal, sampai hari ini, Iran terus mengalami tekanan bertubi-tubi dari lawan-lawannya yang dikomandoi Amerika Serikat cs. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pengaruh Iran dari hari ke hari makin kuat di kawasan maupun di belahan bumi lain.
“Makin mekar pengaruh politik Iran di kawasan, makin besar pula ketakutan penguasa Saudi terhadap ancaman eksistensialnya,” tulis Cunningham. Lebih jauh, Cunningham menunjuk pada sumberdaya raksasa Iran serta pertumbuhan ekonominya seraya mengatakan bahwa Arab Saudi menginginkan Republik Islam itu “dihalang-halangi dari upaya mengembangkan kekayaan energi potensialnya.”
Analis Timur Tengah ini juga menulis, "Penguasa despotik Arab Saudi dan patron Amerikanya (AS) tidak tahan menyaksikan perkembangan Iran sebagai kekuatan ekonomi dunia. Secara langsung, gejala ini mengancam Istana Saud secara politik dan ekonomi, yang pada gilirannya akan mengancam Washington tepat di jantungnya.” Rezim Wahhabi yang berkuasa di Arab Saudi juga membenci Republik Islam Iran yang menjadi “pusat Islam Syiah di kawasan dan dunia.”
Seraya menggarisbawahi pelbagai kejahatan yang dilakukan para pemberontak takfiri dukungan Arab Saudi terhadap kaum Muslim Syiah dan para penganut agama lain di Suriah, ia mengatakan bahwa kebencian dan ketakutan Riyadh terhadap Iran diungkapkan dengan menyulut perang terselubung terhadap Iran dan para sekutunya, termasuk Suriah, rakyat Bahrain, Irak, Yaman, dan di manapun juga.”
Para anggota senior Istana Saud, lanjutnya, mengakui bahwa fokus mereka di Suriah sebenarnya, sebagai contoh, bukan semata-mata menjatuhan pemerintahan Bashar al-Assad dan mengupayakan pergantian rezim di sana. Target utama mereka adalah sekutu kawasan terdekat Assad sendiri, yaitu Iran.
Tiba-tiba saja penghuni Istana Saud menjadi sosok paranoid sehingga di manapun di kawasan, selalu melihat kehadiran Iran.
Sampai-sampai, sebagaimana dikutip New York Times pada bulan Desember 2013 lalu, Duta Besar Arab Saudi Ambassador untuk Inggris, Mohammed bin Nawaf bin Abdulaziz al-Saud, menuduh Iran tanpa secuil bukti pun, bahwa Iran "telah mendanai dan melatih milisi di Irak, 'teroris' Hizbullah di Libanon, serta milisi di Yaman dan Bahrain."
Inilah ironi Istana Saud, yang jelas-jelas menjadi sponsor para teroris atau rezim teror di kawasan, seperti Jabhah al-Nusrah di Syria yang terkait dengan al-Qaeda, ISIS di Irak, dan raja despotik al-Khalifa di Bahrain.
No comments:
Post a Comment